Konsekuensi Dari Setiap Keputusan (Petualangan) - Pendakian Merbabu part-2

Mata tak kunjung terpejam, malam ini terlalu dingin. Meski sudah terhalang oleh lebatnya pohon edelweiss tapi angina tetap saja masuk. Setelah dicek ternyata resleting pintu jebol, menganga membiarkan angina masuk begitu saja tanpa permisi. Pantas saja dingin terasa menusuk hingga ke sum-sum padahal sudah pake sleeping bag dan jaket yang tebal. Aku dan Iqbal berusaha memperbaiki resleting agar bisa di tutup kembali, namun usaha kami sia-sia. Dingin membuat jari mati rasa dan tak dapat bekerja secara maksimal. Di tengah kebuntuan harus dengan cara apa mengatasi masalah ini, teringat bahwa aku membawa peniti.

Meski pada awalnya benda ini tampak tak begitu berguna, namun pada kondisi seperti ini penting fungsinya. Kami menutup pintu tenda dengan peniti untuk sementara, setidaknya untuk sepanjang malam ini atau setidaknya sampai badai mulai mereda. It works, meski tak tertutup secara sempurnya, dengan peniti itu dapat menghalangi agar angin tidak masuk seenaknya.Kembali masuk ke sleeping bag dan menikmati badai dari dalam tenda.

Malam semakin larut, badai semakin menderu deru. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak dibalik suara hembusan angin yang membawa kabut. Aku kira sesuatu yang buruk telah terjadi, pohon tumbang menimpa tenda, tenda terbang atau entah yang lain mungkin saja telah terjadi. Ku dengarkan dulu percakapan mereka untuk mengetahui apa yang terjadi, karena untuk membuka pintu agak susah.Entah aku tak terlalu mengerti apa yang mereka katakana tetapi aku sedikit mengerti tentang maksud yang mereka katakan.

Di tengah badai itu ada sekelompok pendaki yang baru tiba, mereka berencana mendirikan tenda ditempat ini, tapi sayang sudah penuh sehingga mereka berdebat untuk melanjutkan perjalanan atau memaksakan mendirikan tenda. Dari percakapan itu ada salah seorang yang sudah kecapekan, tapi ada salah seorang yang tetep ingin menlanjutkan pendakian, cari tempat yang lebih luas. Akhirnya ada yang mulai emosi, kemudian ada orang lain yang datang melerai, dan suasana kembali hening. Akhirnya mareka mendirikan tenda di celah-celah semak dan edelweiss tepat di sebelah tenda kami.
Gara gara perdebatan mereka mataku susah kembali terpejam, aku jadi berusaha mengintrospeksi diri. Semoga nanti secapek-capeknya tubuh ini tetap bisa mengendalikan diri, menahan ego untuk kepentingan bersama. Teringat pepatah yang pernah kudapatkan dulu ketika pengen jadi mapala.

"If you want go fast go alone, if you want go far, go together”

Maknanya dalam, kalo pengen perggi cepat pergi sendiri, kalo pengen pergi jauh pergi bareng-bareng. Karena bareng bareng bakal ada yang saling menguatkan. Kalo pergi sendiri bisa pergi kapan saja semaumu, tapi itu takkan jauh. Tak ada yang menguatkan, taka da yang bisa jadi tempat berbagi dengan yang se rasa se penanggungan.
Gara-gara naik gunungnya sama anak fisika, jadi keinget rumus fisika ini
P = F/A
P = tekanan, gaya yang bekerja pada tiap satuan luas, namun kali ini di modifikasi jagi gaya yang bekerja pada setiap satuan orang.
F = Gaya
A = luas penampang, namun kali ini dimodifikasi jadi banyaknya orang.
Dari rumus itu tekanan akan semakin kecil apabila banyak orang yang merasakan gaya yang bekerja, susah senang dirasakan bersama. Kalo ada yang susah yang lain harus saling membantu, biar dia tidak menderita dan mati sendirian. Rumus itu, rumus modifikasi yang diajarkan dulu pas pengen jadi anak mapala.
Angin dingin yang membawa kabut ternyata juga membawa rasa kantuk, dan perlahan mata terpejam.

Selamat pagi merbabu,

Alarm membangunkanku, bukan alarmku tapi alarm teman setenda. Ini yang kadang bikin kesel, alarm siapa yang bunyi yang bangun siapa, yang punya alarm masih tidur dengan pulasnya. Berhubung sudah subuh sholat subuh dulu gan.
Pas keluar tenda buat nyari embun dipake buat wudhu, Wow, cuacanya cerah bung, cahaya jingga terlihat jelas di kaki langit timur sana. Langsung bergegas tunaikan kewajiban untuk menikmati keindahan yang mungkin dicari-cari para pendaki.
Ambil jaket, bangunin yang lain, siapkan kamera, dan selamat menikmati pagi. Pagi ini indah bukan?

Sayangnya keindahan tak berlangsung lama, kabut perlahan turun menghalangi matahari yang ingin membawakan kehangatan bagi kami yang kedinginan. Sang merapi yang begitu gagah tepat berada di belakang kami, sepertinya dia juga kedinginan. Suhu udara waktu itu 15 derajat Celcius, tidak terlalu dingin, tapi angin yang cukup kencang hingga menembus di celah-celah sempit jaket membuat udara terasa begitu dingin.
Pagi-pagi enaknya ngopi-ngopi dulu.
Puas menyapa fajar, sekarang saatnya menikmati birunya api kompor ditambah secangkir kopi panas. Kami masak-masak dulu, baru lanjut ke puncak.

Jalur menuju puncak secara umum mendaki, tapi pada beberapa tempat cukup landai untuk dilalui. Tapi kabut menghalangi pandangan kami sehingga mental tetap terjaga meski ada tanjakan panjang didepan sana.
Dilah- cerah bentar, "cekrek..."

Sesekali cerah, namun lebih sering berkabut. Ketika kabut pergi, pemandangan indah ada di bawah sana, namun tanjakan terjal nan panjang ada di depan sana. Mental naik dan turun pada waktu yang bersamaan.
Meski berkabut, gas gas aja bro. soalnya nggak keliatan depan kondisinya gimana

Selama hampir 3 jam pendakian, akirnya sampai juga di puncak, sempat cerah sebentar namun kabut kembali datang. Tuhan juga tahu kami butuh penawar letih, kabut kembali datang menyadarkan bahwa semua yang ada di dunia ini dikendalikan oleh Tuhan.


Statistik pendakian menuju Puncak dengan menggunakan aplikasu My Tracks. Lama jalan sama istirahatnya sama he.he
Bagan, gambaran kondisi medan yang dilalui (garis ijo) vs kecepatan (garis biru) masih pake My Tracks juga

Dipuncak, cerah, "cekrek"
Berada di tempat tinggi, semakin terasa dekat dengan Tuhan, berhasil menginjakkan kaki di tempat tinggi namun hati perlahan turun di tempat yang rendah. Menerima fakta bahwa manusia itu sangat kecil, karena kecilnya manusia takkan berdaya melawan alam, melawan keagungan Tuhan.
Semakin siang semakin ramai, namun cuaca tak kunjung membaik. Meski ramai kebanyakan di isi oleh manusia batangan, alhasil teman kami yang dari jogja jadi sasaran buat diajak foto.
Puas di puncak, kami memutuskan untuk turun gunung, kembali ke tempat camp. Melewati jalan yang sama ketika naik tadi. Kami bisa turun dengan berlari, tentusaja bagi yang lututnya masih kuat. Kalau nggak kuat awas jebol, bahaya.

Setiap kali melewati turunan curam, kadang merasa, tadi kita lewat sini? Ya, kabut berhasil mengelabui kami. Kadang juga merasa tadi pas naik kita susah-susah kesana, tapi pas turun bisa dengan mudahnya. Mungkin ini adalah setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan, setiap ada tanjakan pasti ada turunan, ada integral ada juga differensial-jadi inget kalkulus.

Sampe di camp, masak-masak dulu, makan siang lalu turun. Jangan harap ada menu rumahan, nasi + mie + sosis cukup menjadi hidangan terakhir di merbabu. Meski sederhana, nikmatnya begitu terasa, disamping karena laper dan nggak ada makanan lain. Mungkin manusia harus menderita dulu buat tahu apa namanya nikmat.Selesai makan, bongkar tenda, packing, dan tidak lupa sampah juga kami bawa, kami kembali ke basecamp.

Pas turun di dekat bukit selo, banyak pemandangan yang tidak enak dipandang buat para jomblo. Disana ketemu sepasang pendaki yang juga baru turun, si cewek kakinya kram, berjalan tertatih tatih sambil ujan-ujanan. Cowoknya jalan duluan didepan, tapi sambil bawain cariernya sih. Tapi tetep aja kasian si mbak-mbak ini, kami berinisiatif buat ngasih ponco cadangan, meski ponco plastic murahan semuga cukup melindungi mbaknya dari dinginnya air hujan. Semoga langgeng ya mbak, nggak Cuma naik gunung bareng, naik pelaminan juga bareng.

Kami terus jalan, ketemu lagi sama pasangan yang sama menyedihkannya seperti tadi, kali ini lebih parah. Tadinya jalan bareng, payungan bareng, ujan-ujanan bareng, romantisnya. Tapi begitu hujan tambah deras, masnya jalan duluan mbaknya ditinggalin di belakang ujan-ujanan, nggak pake sandal, sambal nenteng sepatu hak tinggi (aku menyebutnya sepatu kuda). Pengennya minjemin sandal ke mbaknya, tapi sayang kami nggak bawa sandal, nemenin jalan bareng nggak apa mbak ya..

Jomblo jangan baper


Adzan asar baru saja selesai berkumandang setibanya kami di basecamp. Kami ngeteh-ngeteh dulu, sama mandi dulu. Aku duduk di depan tungku sambil menikmati the panas, bareng sama pendaki dari Ungaran. Kebeneran, tempat mereka searah dengan jalan pulang kami. Setelah trauma dengan jalan yang kami lewati kesini kami meminta rekomendasi jalan kearah Semarang, mereka merekomendasikan lewat Ampel Boyolali, atau Kota boyolali. Kalau lebih cepet lewat Ampel, tapi jalannya agak rusak, akupun sedikit tau jalan ini, karena berdekatan dengan lokasi pemetaanku di semester ini. Setelah semua beres, kampi pamitan pulang dan langsung berpencar menuju kota masing masing. Aku dan Iqbal ke Tembalang, Dilah dan Tris kembali ke Pogung.

Perjalanan pulang,

Perbaikan janan di Boyolali cukup membuat waktu perjalanan menjadi lebih lama, ditambah dengan kondisi jalan yang berlumpur karena hujan, antrian kendaraan yang panjang, karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, kami harus bersabar ditengah hujan deras ini. Entah di saat seperti ini ada saja pikiran melintas, barusaja teringat ada tugas kuliah yang harus dikumpul besok, dan kami belum ngerjain sama sekali, ada ujian juga besok pagi. Oh sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang.

Hujan masih saja deras, dan malam semakin gulita. Derasnya hujan mengurangi jarak pandang dengan sangat drastis,  aku tidak bisa membedakan lubang jalan dan genangan, jalan lurus atau belok. Benar-benar samasekali tanpa penerangan. Demi keselamatan, kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil makan malam. Untuk menjaga konsentrasi juga menghalau angin tidak bersarang di pencernaan.

Hujan belum juga reda, makanan dan kopi kami sudah tandas semua, menunggu hujan reda sama saja menunggu ketidak pastian, sedangkan masih ada pekerjaan menunggu dikosan. Setelah banyak pertimbangan akhirnya kami menerobos lebatnya hujan dan gelapnya malam.

Memikirkan tugas yang sudah menunggu dikosan membuatku semakin ceroboh, tetap memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi meski tak tau kondisi jalan yang dilalui. Lubang jalan dan genangan air tak ada bedanya, sampai kecerobohan ini nyaris membawa petaka.ban motorku terperosok lubang yang dalam, membuat Iqbal dibelakang terpental dan nyaris terjatuh, sedangkan tepat dibelakang ada truk pembawa pasir dengan jarak yang tak terlalu jauh. Suara klakson terdengar keras sebagai peringatan akan terjadi tabrakan, tapi untung kami langsung bisa mendapatkan keseimbangan dan terhindar dari kecelakaan. Dari hal ini kami semakin sadar, pemahaman medan selama perjalanan itu sangat penting. Demi keselamatan karena kami tak hafal medan, kami memilih membuntuti truk, sepertinya mereka juga menuju Semarang.

Setelah berjalan dibawah ketidaktahuan akhirnya kami menemukan peradaban, jalanan ini berujung di jalan raya Salatiga-Boyolali. Aku hafal jalan ini dan mulai percaya diri untuk memacu motor di kecepatan tinggi, sedikit ugal-ugalan dijalan berakibat kami kejar-kejaran sama mobil mewah yang sama ugal-ugalannya. Aku membencinya karena dia ugal-ugalan, dan sepertinya mereka juga benci kami yang juga ugal-ugalan. Saling balap ini berakhir pada kemacetan, dia terjebak dan semakin tertinggal jauh dibelakang.


22.00 WIB- Tembalang


Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang nan menegangkan kami tiba di Tembalang. Meski lelah, malam ini kami harus begadang menyelesaikan kewajiban yang sempat di tinggalkan. Inilah konsekuensi yang harus kami terima.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »