Resonansi Alam

Sejujurnya aku sangat lelah, tapi aku tak juga tertidur. Diluar sedang gerimis dan membawa kabut ke Tembalang. Kabut putih yang terlihat abu-abu bergerak perlahan mengikuti angin membawa hawa dingin menyusup melalui langit-langit jendela. Membuat resonansi alam yang membuka kenangan masalalu, mengingatkan kapan terakhir kali aku tak bisa tidur meski aku sangat letih.

Waktu itu, yang kulihat hanyalah kabut putih yang membawa embun. Terbawa oleh angin gunung yang berhembus dari lembah. Menabrak pohon-pohon edelweiss dan tendaku. Meninggalkan embun yang membasahi lengit-langitnya. Suara kentut disusul dengan suara tawa cekikikan dari tenda sebelah beradu dengan suara angin gunung yang terus menderu dari tadi senja. Mereka yang didalam tenda itu terdengar bahagia meski aku tau sebenarnya mereka tersiksa.

Di tenda ini hanya aku yang belum tidur, aku tau tubuhku sudah merintih memintaku untuk mengistirahatkannya. Hanya saja aku tak ingin malam seperti ini berlalu begitu saja, aku tak tau apakah aku bisa berada di tempat seperti ini suatu hari nanti atau mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.

Awalnya aku berharap malam ini akan dipenuhi dengan bintang, tapi sayang aku tak bisa menghalau badai yang datang. Ekspektasiku terlalu tinggi, tapi aku tak boleh berkecil hati. Aku sudah berada disini, Entah kenapa aku sempat ingin berada di tempat ini, padahal perjalanan ke tempat ini tak menjanjikan kebahagiaan. Sejauh ini aku hanya merasakan kelaparan dan kedinginan.

Tak terasa sudah pagi, tepat 2 hari aku tak tidur, begitu juga mandi. Kuabaikan tidurku karena tugas kuliah, begitu juga mandi. Jorok? hah, kau hanya tak mengerti. Jika sampai kau lupa dengan tidur dan mandi mu, aku tau betapa sibuknya dirimu.

Sinar jingga mulai terlihat dari kaki langit timur, aku beruntung bisa melihatnya meski tak lama. Kabut kembali datang menghalangi matahari yang ingin menampakkan diri, merubah semuanya menjadi abu-abu. 
"Selamat pagi..." satu persatu mulai kembali dari mimpinya. Pagi ini puncak tak lagi menjadi prioritas, sepertinya mereka masih sama seperti beberapa bulan sebelumnya. Kenyataan tak seperti angan. Akupun tak tau aku harus kembali ke basecamp atau meneruskan perjalanan yang sudah setengah jalan. Tapi aku tau aku harus sarapan jika tak ingin mati kelaparan dan kedinginan.

Untungnya kali ini aku tak perlu memasak sarapan sendiri, Kawan baru dai Jogja sudah bersiap memasak sarapan dengan menu yang entah apa. Aroma kopi dan nasi, uh aku sudah lapar sekali. Meski dia wanita, tapi tak seperti dugaanku. Masakannya rasanya tak jauh beda dengan masakanku. Oh ekspektasiku terlalu tinggi. Dia bilang, makas di gunung tak seperti yang dia bayangkan, ternyata sedikit lebih sudah tak seperti masak di kosan. Ternyata dia juga punya ekspektasi tinggi. 

Nasi putih hangat, tempe goreng, sosis goreng, sayur yang katanya sop, dan sambal terasi menjadi menu sarapan kami. Menu yang biasa saja, tapi terasa spesial. Jauh lebih baik daripada mie instan. Tapi kali ini realita berhasil mengalahkan ekspektasi. Meski sederhana menu sarapan ini adalah menu paling enak yang pernah ku makan selama pendakian. Mungkin karena aku lapar? oh aku tak mau beralasan lagi. Aku tersadar ternyata kenikmatan, kenyamanan, dan kebahagiaan ternyata hanya masalah waktu. Sesuatu yang terlihat menyiksa ternyata tak sepenuhnya seperti itu, semua bisa terasa nikmat juka kau tau bagaimana cara menikmatinya.

ini sarapan kami

Pagi ini, meski sebenarnya kami menyimpan kekecewaan karena ekspektasi yang terlalu tinggi, tapi kami masih bisa tertawa. Harapan yang terwujud ternyata bukanlah satu-satunya cara untuk merasa bahagia. Tetap bersama meski terlihat sengsara ternyata bisa juga membuatmu bahagia. Mungkin sudut pandang ini yang digunakan oleh orang jawa. "Mangan ra mangan sing penting kumpul", makan enggak makan yang penting kumpul. Kebersamaan itu membahagiakan meski dalam kesederhanaan.

Ada banyak cara untuk bahagia, salah satunya dengan saling menjaga dan tetap bersama

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »